Rabu, 06 Oktober 2010

KETIKA PEMBALASAN LEBIH KEJAM DARIPADA PERBUATAN

Sore itu kau terlihat cantik menantangku dengan tatapan, dengan mata yang basah dan tangisan yang tertahan. Dirimu yang rapuh kini transparan. Sudah lama aku tak bertemu dirimu yang satu ini, dan cantikmu kini terlihat jujur. Pembicaraan kita yang hampir sejam itu telah membuka gerbang cerita yang bertahun tak pernah bisaku masuk ke dalamnya. Tapi kini aku sedang berada di sana, melihat cerita-cerita yang awalnya tak sekalipun singgah dalam dugaku.

Serentak bisa kurasakan dukamu, merasakan duri dalam hati yang sangat ingin kau singkirkan tapi tak bisa. Ingin sekali kuraih tanganmu, merangkul kemudian memelukmu agar kau bisa menangis di dekapku. Namun aku ragu itu dapat menenangkanmu, jangan-jangan malah akan lebih membuat duri di hatimu merajalela. Aku harus terlihat teguh sebagai pendengar dan penasihat terbaik buatmu. Jangan sampai aku terlihat kaget dengan semua yang terjadi dalam ceritamu. Cukup memaklumi saja. Ya, cukup begitu.

Di dalam sana bisa kulihat kau yang menahan sakit dengan muka pucat dan tubuh lemah, tergopoh-gopoh langkahmu keluar dari klinik tempat janin yang baru berusia sebulan di rahimmu musnah oleh kebejatan dunia yang tak sedikitpun membelamu. Dunia menyudutkanmu, menyempitkan ruangmu, dan memperkecil waktumu supaya pilihan untuk aborsi menjadi jalan satu-satunya yang harus sesegera mungkin kau lakukan.
Kamu nyatakan alasannya: “Kau tau? Itu semua kulakukan demi masa depannya. Saat itu dia masih kuliah, tak mungkin tiba-tiba ia berhenti untuk menikah, sedangkan pekerjaan belum ada dan keluarganya pun bukan keluarga yang berkecukupan. Ibunya berharap dia bisa  menjadi sarjana.”

Belum sampai di situ ternyata kemalanganmu, baru dua tahun merasakan ruang waktu yang memberikan sedikit kebebasan bagi jiwamu yang luka, seperti keledai kau jatuh lagi di lobang yang sama, dan sekali lagi aborsi adalah jalan yang harus dipilih. Mungkin yang ke-dua ini kau mulai terbiasa. Rasa sakit sudah agak mudah untuk ditahan, muka pucat bisa ditutup dengan make-up dan kau telah pengalaman untuk mencari obat atau ramuan yang bisa memulihkan lemah tubuh. Juga, masih ada dia yang setia menuntun langkah tergopoh-gopohmu. Tapi kau harus tau, ketika luka-luka sudah mulai terbiasa kau derita dan rasa, kau pikir itu tak berbahaya lagi, padahal dalam ronggamu telah meradang borok yang berkali lipat besarnya. Ketika satu moment membukanya kembali akan kau rasa sakit yang sesakit-sakitnya. Bukan tubuhmu yang sakit tapi hati dan jiwamu. Seperti saat ini menangis kau di depanku. Katamu, kau lakukan itu untuk masa depan kalian. “Tinggal sedikit lagi dan dia akan sarjana, jadi tak apalah jika harus berkorban sekali lagi.”

Kau tak tau dalam hati aku berteriak: Hei..! Kau wanita apaan, sih?! Sampai bisa melakukan hal yang paling fital dalam hidup. Kau bukan sahabat yang kukenal selama ini. Kenapa waktu itu tak pernah cerita padaku?! Biar aku yang bicara padanya dan menyuruhnya bertanggungjawab. Akhhh..!!

Tapi, mungkin itulah arti cinta bagimu. Rasa yang kau jalani dengan segala kontroversi namun yang adalah ketulusan bagimu.

Sampai di tahap ini jujur aku mulai gusar padamu, relung ini makin tak sedap dengan sejarah yang beruntun kau singkapkan padaku. Kenapa kau sebegitu pasrahnya dipermainkan hidup? Kenangan moment di malam pernikahan dua tahun lalu tiba-tiba berkelebat. Dengan gaun putih nan anggun kau berjalan dengan keindahan menuju pelaminan sebagai ratu, matamu yang masih terselip sekelumit (yang entah apa) tak menjadi nila karna susu sebelanga-mu terlalu cantik untuk dipandangi para undangan pesta. Serasa malam itu akupun ingin segera menyusulmu menjadi seorang mempelai. Aku belum beruntung saja sepertimu yang akhirnya menemukan pangeran impian. Putri khayalanku belum juga tiba dalam realita.

Beberapa bulan sebelum malam itu kau sempat berbagi cerita  denganku, tentang dua pria yang sedang mengisi hatimu, dan keduanya sama-sama kau cinta. “Tapi mana yang lebih tepat menjadi suamiku nanti?” Tanyamu menyudutkanku seperti menyuruh memilih sala satu di antara dua perahu untukmu seberangi sungai kehidupan yang arusnya sangat deras dan berbatu-batu. Jika sampai aku salah memilih perahu bagimu, seumur hidup aku yang akan terjebak dalam perasaan bersalah, dan kau tau itu. Kamu adalah sahabat terbaik, bukan sekedar wanita yang kusayang karna banyak sudah waktu kita bersama, tapi karna ada sebongkah ruang di lubuk ini tersedia khusus untuk dirimu. Entah apa. Tapi aku merasakannya.

Di sini masih kita  bertatapan, tapi pipimu telah lembab dengan tangisan. Wajah itu semampunya kau tegakkan, agar tak terlihat kasihan olehku. Aku memang tak kasihan, lebih tepatnya aku terharu dengan ketegaranmu; di luar dari semua kelemahan dan kesalahan yang banyak kau buat. “Bila mengingat-ingat semua yang terjadi rasanya jijik banget  yang aku lakukan dulu. Tenyata pria di mana-mana sama saja.” Ada kebencian di rautmu ketika mengatakannya, entah benci pada dirimu sendiri atau memang image pria dalam penilaianmu sudah rusak karna pengalaman pahit itu. Tapi nyatanya pendamping hidupmu saat ini adalah seorang pria, yang setiap malam kau temukan terbaring di sampingmu melepas lelah setelah seharian mencari nafkah, dan paginya setia kau buatkan sarapan dengan secangkir kopi.

Juga aku. Aku pikir, aku tak termasuk di antara pria-pria yang kau benci (mudah-mudahan begitu). Pernahkah kau mencintai seseorang sekuat-kuatnya, memikirkan dan merinduinya setiap waktu, tapi tak lagi cinta itu mendekap hatimu bahkan untuk sejenak mamandang dirimu yang ia tinggalkan di belakang pun tidak? Seperti itulah aku. Bagai pagi yang mencintai kemarin, matahari tak mungkin bersatu dengan bulan. “Kecuali kamu..” Akhirnya aku jadi pengecualian.

Akupun memberanikan diri untuk bertanya setelah berjam-jam menjadi pendengar setiamu. Tapi, kenapa kau selingkuh, sedangkan banyak sudah yang kau korbankan untuknya? Diapun sangat mencintaimu kan? Segera ucapmu menjawabku tegas: “Dia yang lebih dulu melakukan itu! bayangkan, apa yang belum aku buat untuknya, coba? Cuma dia seorang yang aku cintai dan aku selalu setia walau  godaan sering mencoba melemahkan hatiku, tapi aku tetap bertahan. Malah dia yang tega main di belakangku.” Kau menjelaskan dengan isak mengeringi di sela kata dan kalimat.

Sahabatku, kau harus tau. Kehidupan memberi kita banyak pilihan, walau terkadang rasanya kita hanya diperhadapkan dengan satu keputusan saja, sebenarnya ada pilihan lain yang masih menunggu untuk kau tunjuk tapi tertutup dengan selubung ketakutan, resiko, ketidaksiapan, dan masih banyak lagi selubung yang membuat kita akhirnya memilih apa yang terlihat di depan saja. Yang paling logis, walau kontras dengan nurani.

Mungkin semuanya tak akan seperti ini jika empat tahun lalu kau memutuskan untuk tidak aborsi dan memilih menikah walau harus mengorbankan kuliahnya yang tinggal selangkah lagi selesai, tapi kau tak memilihnya sebab terlalu sulit untuk melepas kesempatan begitu saja, katamu.

Mungkin segalanya tak akan seperti ini jika enam tahun lalu kau memutuskan untuk tak menggugurkan kandungan dan memilih menikah meski harus mengorbankan semester awal kuliahnya yang katamu adalah masa depannya itu, tapi kau tak memilihnya karna takut dan malu jika aibmu diketahui orang.

Mungkin tak akan begini bila tujuh tahun lalu kau memutuskan untuk tak menemuinya lagi setelah pertemuan pertama kalian (yang bagimu adalah hal baik karna mengenalnya dalam sebuah acara rohani, dan kalian seiman), tapi kau tak memutuskannya. Padahal masih gampang untuk menghindar saat itu dibandingkan saat-saat berikutnya.

Namun begitulah manusia, seperti anak kecil yang dilarang ibunya bermain hujan, tapi tetap saja ketika hujan turun ia menerobos pintu belakang dan bermain di pekarangan rumah bersama anak-anak lain hingga basah kuyup. Besok pagi ia baru sadar kalau ibunya benar. Hujan membuatnya terkena influensa dan hanya bisa terbaring di tempat tidur dengan suhu tubuh panas dan menggigil. Satu kerugian terbesarnya adalah tak bisa bermain lagi dengan teman-temannya walau siang itu cerah.

Haruskah kita seperti anak kecil yang tak mempercayai kata orangtua? Atau haruskah kita seperti seorang pecandu narkoba yang alasan awalnya hanya coba-coba? Tak bisakah kita percaya saja apa yang dikatakan orangtua, atau ketika membaca peringatan dan iklan tentang akibat yang akan ditimbulkan oleh narkoba, kita langsung sadar dan tak mencobanya? Tapi waktu adalah progresifitas; sesuatu yang prosesinya tak bisa berjalan mundur. Kita harus meneruskan perjalanan, dan kau sedang ada dalam jalanmu. Kamu harus merelakan semua yang terjadi, jangan sampai penyesalan-penyesalan menjadi dominan dalam perjalananmu.

Dan masih saja ceritamu selanjutnya mengejutkanku. “Van, ketika mau menikah sebenarnya aku sementara mengandung. Janin berusia dua bulan dalam perutku adalah sala satu alasan kenapa kami menikah tanpa persiapan yang matang. Lebih parah lagi pria yang kutau menghamiliku tak sekuat cintanya untuk segera bertanggungjawab. Itulah kenapa pria di mataku sama saja bejatnya. Sesudah mendapatkan keinginan, jalan pikirannya langsung berubah.” Ini ternyata nila yang sempat kutemukan di matamu malam itu.

Wajahmu basah lagi dengan airmata, terpancar di sana kesedihan yang dalam. Jalan baru yang kau tempuh untuk meninggalkan jalan lama yang telah menyakitimu malah lebih mendukakanmu. Kau lagi-lagi menyesal telah melalui jalan itu, jalan yang awalnya penuh kesabaran, kelembutan dan kedamaian katamu, akhirnya lari meninggalkanmu bagai pengecut. Meninggalkan dirimu yang telah menambatkan harapan besar padanya. Meninggalkanmu yang sedang mengandung benih cinta kalian.

Tapi syukur harus sepantasnya kau tuturkan pada hidup. Jalan lama yang kau tinggalkan (hanya karna tiga tahun lalu selingkuh dengan wanita yang baru dikenal sehari (saja) dan tak pernah bertemu lagi untuk selanjutnya) rela membuang semua ego dan mengutamakan cintanya padamu, memintamu menikah dan bersedia menjadi ayah dari anakmu. Tak adil baginya jika kau masih saja terus terjebak dalam kenangan masa lalu, sedangkan telah ia menerima apa adanya dirimu.

Inilah realitas; kenyataan-kenyataan yang beredar dalam lorong-lorong kehidupan, dan setiap pengalamannya berbeda-beda. Satu pengalaman menetukan pengalaman-pengalaman yang lain. Sampai sebuah perselingkuhan kecilpun dibalas dengan hubungan yang menghasilkan seorang bayi tak berdosa. Nasehatku, tinggalkanlah semua kenangan masa lalu itu, cukup itu menjadi guru baik untuk hari esokmu. Dia telah mengajarkanmu banyak hal, bahwa pisau itu tajam, api itu panas dan keemasan tak selamanya emas. Dan tak selamanya kesalahan harus dibalas dengan kesalahan, karna cinta itu membutuhkan ketulusan.

Terdengar suara tangisan bayi memecah keharuan kita, kau bergegas setengah berlari ke arah kamar. Dengan lembut kau gendong bayimu dan menenangkannya dengan belaian. Aku melihat seberkas senyum terbit di wajahmu, mengalahkan pilu yang tadi sempat menutupinya. Semoga senyum itu seterusnya  memancar tak pernah terbenam, menjadi hari cerah dalam perjalanan hidup rumah tangga kalian. Dan aku ada di sini. Aku ‘kan selalu mendoakanmu.

Kutatap dalam-dalam sosok lucu di pelukanmu itu. “tetap mirip kok dengan ayahnya.” Kataku coba menghiburmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar