Liburan semester ganjil tiba sebentar lagi. Sore ini suasana kampus nyaris lengang, sebagian mahasiswa banyak yang tak masuk karena sudah terlebih dulu mudik ke kampung halaman berhubung sebentar lagi umat muslim akan merayakan hari raya Idul Fitri.
Aku Anton, mahasiswa semester lima Fakultas Ekonomi. Bersama teman-teman se-jurusan, aku datang ke kampus untuk melihat nilai hasil semester kami. Kulihat Sherly lagi kebingungungan seperti hendak mencari-cari sesuatu..
“Ada apa, Sher? Kamu kok kayak bingung gitu?” Tanyaku dengan menantang arahnya.
“Gini, tadi ‘kan aku ke kantin, ada adik semester ngasih aku surat, katanya dari seseorang yang nggak mau identitasnya diketahui.” Terangnya sambil menunjukan sepucuk kertas dari tangannya:
Kemarin kulihat engkau tersenyum
Sekarang kudengar engkau tertawa
Esok kuingin engkau bahagia
Selamanya yang kurindu hanyalah ceriamu
“dari pemujamu”
“Gimana menurut kamu, Ton?” Tanyanya berharap aku bisa walau sedikit saja membantunya keluar dari kebingungan ini.
“Mmm…Pasti pak Amir. Diakan pandai bikin puisi, apa lagi buat kamu.” Jawabku bercanda. Pak Amir adalah satpam kampus ini, dia dikenal sedikit genit dengan mahasiswi-mahasiswi, terlebih yang perawakannya cantik.
“Ah, Anton.. aku serius nih..! Kata Sherly cemberut.
“Mungkin Doni, soalnya dari dulukan dia naksir sama kamu, Sher.” Sambung Rani yang berdiri di sampingku.
“Tapi dia ‘kan tulalit, tulisan aja hampir-hampir nggak kebaca, apalagi hal-hal romantis kayak gini.” Jeri memberi komentar.
“Sher..! Sherly..! Ini ada sesuatu buat kamu.” Teriak Tari dari arah belakang sambil setengah berlari kian mendekat.
“Apaan, Tar?” Tanya Sherly.
“Nggak tau, buka aja. Itu cuma dititip Bu kantin buat kamu.”
Dengan penuh tanda tanya Sherly langsung mencari mereka-mereka yang berhubungan dengan semua -yang tak lazim- ini, tentunya dengan bantuan kami, sahabat-sahabatnya. Tapi sayang, tak satupun informasi kami dapatkan. Mereka juga tak tau -atau tak mau beri tau- dari mana surat-surat itu berasal. Sepertinya sang pelaku udah kelas ‘kakap’, atau mungkin hantu yang lagi jatuh cinta hingga jadi pengagum rahasia… Tebakan-tebakan dengan candaan kami berhamburan hiasi suasana yang sedang aneh hingga waktu tak memberikan kesempatan lagi untuk meneruskan pencarian, sebab tak terasa sore mulai tanggelam. Kami pun memutuskan untuk pulang, tapi dalam pikiran Sherly masih berngiang banyak pertanyaan.
***
Jam menunjukan pukul sepuluh pagi ketika aku bertemu teman-teman di kampus hari ini, karena kemarin belum juga sempat melihat hasil semester yang katanya tertunda sekarang.
“Ha..ha.. aku puas sekali dengan nilai kali ini, nggak sia-sia aku bergumul siang malam dengan buku-buku.” Tutur bahagia Sherly.
“Emang cuma kamu aja, kita-kita juga bagus hasil semesternya. Iyakan teman-teman?” Cetus Rani tak mau kalah. Tak lama kemudian Jeri tiba.
“Selamat ya, semua.” Keceriaan itu terdiam kala tutur kata Jeri meniba terdengar melas. Aku langsung mendekati dan menepuk pundaknya, karena aku sudah tau nilainya buruk.
“Udah, Jer. Kamu nggak boleh putus asa ya, semester depan kamu pasti berhasil.” Aku menyemangati.
“Emangnya nilai kamu nggak menyenangkan?” Sambung Rani.
“Kenapa sampe gitu, Jer? Semester kemarinkan kamu dapat A semua?!” Tanya Tari.
“Mungkin karena aku terlalu menghabiskan waktu dengan pekerjaan sampinganku di bengkel, sampai-sampai kuliahku anjlok.”
“Itu berarti kamu dituntut lebih agar berprestasi di semester depan. Anggap saja kegagalan kali ini adalah pintu-pintu keberhasilan nanti.” Dukung Sherly.
Doni teman kami satu semester datang memberi sesuatu pada Sherly.
“Sher, ini ada titipan buat kamu.” Kata Doni.
“Apaan nie?” Tanya Sherly sambil membuka bungkusan yang diterima di tangannya itu.
“Lihat aja sendiri.”
“Oh.. Coklat, kebiasaanmu, Don. Makasih ya. Mmm… ini kertas apaan? Jadi kamu yang selama ini ngasih aku surat tanpa nama?”
“Uuh.. geer kamu, Sher. Kalaupun aku memang suka sama kamu, aku nggak mungkin lakuin hal kayak gini. Tapi kelihatannya orang ini cinta banget deh sama kamu, aku saja nggak bisa buat puisi indah begini.” Jujur Doni pesimis.
Sampai di sinipun, misteri ini belum bisa terungkap. Puisi-puisi itu makin mengganggu hati Sherly dan menambah ribuan tanda tanya di pikiran kami. Keesokan harinya masih saja Sherly menerima surat-surat seperti itu, giliran pak Amir yang jadi pengantaranya, tapi diapun mengaku tak menulis surat-surat itu. Hari, minggu, bahkan bulan Sherly lewati dengan iringan puisi cinta dari penggemar rahasia. Tanpa disadari Sherly telah jatuh dalam cinta yang tak pasti, cinta yang dirasakan hanya dari lantunan syair cinta yang dialamatkan padanya selama ini.
***
Valentine Day tiba, hari yang konon bagi sebagian orang adalah kebahagiaan karena bisa berbagi dengan orang yang dicintai. Seperti kami: aku, Sherly, Tari, Rani, Jeri, akan merayakan tanggal empat belasan ini bersama, dan rencananya kami mau jalan-jalan ke pantai. Sherly masih di rumahnya ketika aku menelpon.
“Gimana, Sher? Udah stand by?”
“Iya sih, tapi aku ngerasa nggak baik-baik aja ni, Ton..” Jawab Sherly.
“Kenapa, kamu nggak enak badan ya?”
“Aku sedih, Ton. Kita bakal kehilangan sahabat. Tadi Jeri datang menemuiku, katanya dia mau pergi tapi nggak bilang mau kemana. Cuma senyum dan sebuah puisi yang dia tinggalkan untukku.” Sherly berkata dengan semangat yang layu sambil membacakan syair itu melalui gagang telpon padaku:
Sahabatku cintaku,
Pemujamu sahabatmu,
Mencintaimu hanyalah impian,
Memilikimu sebatas angan,
Kini semuanya berakhir,
-berakhir tanpa kisah-
“Dia baru saja pergi.” Tambahnya.
“Gini aja, abis ini kita bareng teman-teman yang lain mampir ke rumah Jeri, ok?!
Tak berapa lama, Tari dan Rani sudah bersama aku dan Sherly yang sebelumnya sudah bertemu lebih dulu. Langkah kami langsung bergegas menuju rumah Jeri dengan hati penasaran karena tak biasanya dia seperti ini. Ada yang tak dapat kami ungkapkan walau benak berbisik sesuatu. Apa itu?
Sesampainya kami di sana, tampak orang banyak berkumpul dengan warna pakaian yang kontras dengan perasaan yang harusnya muncul hari ini. Terdengar ratap tangis dari dalam rumah, aku semakin mempercepat langkahku, setengah berlari. Di ruang tamu, kedua orang tua Jeri duduk memandangi sebuah kas panjang melintang dengan ditutupi tirai putih dan menangisinya.
Itu peti! Siapa yang meninggal? Aku takut jika harus melihat sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, tapi kakiku tak bisa kuhentikan ‘tuk mengelak dari sebuah realita yang sedang menanti, wajib kuhadapi. Ketika mendekat, jantung langsung kurasakan semakin cepat memacu, bulu kudukku berdiri. Dengan perlahan kubuka tirai itu…
Jantung yang tadi berdetak melewati kecepatan normal, kini rasanya berhenti seperti menekan ‘pause’ pada remote tape ketika melihat raga yang ada dalam peti itu.
Ternyata memang Jeri yang meninggal, kesedihan langsung menggema diriku dan teman-teman, terlebih Sherly. Dalam kelopak matanya kulihat kesedihan yang sangat. Dari orang tua Jeri kami diberi tau kalau Jeri baru meninggal dua jam yang lalu. Saat meninggal, ditemukan catatan-catatan puisi berserakan di sekitar mayatnya.
“Jeri sebenarnya punya penyakit yang setiap saat bisa membunuhnya. Dan kini itu terjadi. Dia meninggal lima menit setelah pamitan pada tante, katanya mau ketemu Sherly.” Kenang ibu Jeri yang tak bisa memendung airmatanya. Kesedihan yang tak pernah diduga-duga itu seakan mengukir rasa yang berseberangan dengan makna hari ini: kasih sayang, kebersamaan, kebahagiaan, berbagi.
Misteri dan kebingungan yang merebak, akhirnya terungkap. Sherly kini tau penulis surat-surat berisi puisi cinta itu. Namun semuanya terlambat.
“Berarti yang temui aku tadi itu…? Walaupun udah meninggal dia tetap saja menemuiku. Seandainya ini tak terjadi…”
Sherly tak bisa meneruskan kata-katanya. Karena sebenarnya iapun sudah lama menyukai Jeri. Tangis menghentikan suaranya. Membungkam semua keceriaan menjadi keheningan.
***
Prosesi waktu melompat progres, namun tak pernah lagi kulihat Sherly tertawa lepas seperti saat-saat dulu. Kudapati di wajahnya hanya ada kesunyian; di matanya tinggal sebuah kata: Sepi. Diam menjadi kebiasaannya. Dua tahun terlewat sudah, aku masih melihat Sherly diam.
Dan kini untuk selama-lamanya.