Cerpen ini didedikasikan untuk teman-teman di Gereja Mawar Sharon, Langowan, Kec. Minahasa, Sulawesi Utara. Untuk mengenang tragedi tahun 2005 silam. Secara keseluruhan, cerita hanya di ‘hiperbola’kan, tapi tanpa memiliki suatu maksud tertentu. Semoga cerita ini dapat memotifasi kita untuk lebih lagi memacu semangat dalam melayani dan mencintai Tuhan..


Sebuah senyum terbias di bibirnya saat ini, menatap pantai yang sedang terpapar di pemandangan. Serasa ada kebebasan baru saat meresapi segala yang ada di sini, seperti waktu pertama ia menemukan arti kasih sebenarnya setahun yang lalu. Senyum serupa menghiasi sekeliling ketika ia mengarahkan pandang ke wajah teman-temannya yang sedari tadi bersamanya. Karena mereka ia akhirnya merasakan kasih itu. Kedamaian yang melebihi keabadian.
“Sehan, kok ngelamun aja di situ? Ayo gabung sini, kita lagi mau bikin permainan nie. Ayo.” Teriak Lani dari keramaian yang terletak tak terlalu jauh di tempat Sehan berdiri. Lani adalah sahabat Sehan sekaligus orang yang mengajaknya masuk ke perkumpulan ini. Dengan Lani banyak ia berbagi tentang semua lika-liku hidup, warna-warni perasaan, bahkan keburukan dan keindahan. Tanpa Lani, entah sudah jadi apa hidupnya kini.
Sejenak teringatlah ia akan kehidupannya dahulu. Minuman keras, obat-obatan terlarang, seks bebas dan banyak lagi kejahatan yang ia lakukan membuat hidupnya kacau dan hancur. Hingga satu titik ia merasa sendiri. Keluarga, teman-teman dan pacar tak ada satupun yang peduli saat dirinya sempat mendekam di penjara sampai menjalani karantina karena ketergantungan pada narkotika. Semua itu membuat ia merasa sebatang kara. Berkelebat juga ingatan kala pertama ia bertemu Lani di sebuah mall dan memberinya selebaran undangan acara konser musik rohani anak muda. Berkenalan hingga obrolan yang menarik membuat Sehan seperti terlanda kedamaian dari tutur Lani yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ramah juga sopan.
“Sehan, ayo.” Panggil Lani untuk kedua kalinya.
“Iya.. iya.” Tak lama dirinya sudah berada dalam kelompok muda-mudi itu tempat sahabatnya menunggu. Tawa canda lagi-lagi berkumandang, membuat sore berjalan ceria bagi mereka.
Persekutuan pemuda ini didirikan atas dasar iman kepada Tuhan Yesus Kristus, di bawah bimbingan sebuah gereja di daerah tempat Sehan tinggal. Cara hidup baik, jujur, tulus dan segala yang terbentuk dari kemurnian hati banyak diajarkan di perkumpulan ini. Sebagian besar anggotanya adalah anak-anak broken home dan orang-orang yang lama hidup dalam jeratan dosa. Di komunitas ini mereka menemukan makna hidup yang bukan sia-sia. Menjalani hidup dalam pengharapan hingga menikmati cinta sejati yang cuma bisa dirasakan lewat intensitas hubungan roh dalam penyembahan dan doa. Dengan bergulirnya waktu, jiwa mereka semakin kuat. Karakter yang baik terpancar dalam keseharian dan pengaruh positif kian merambati aspek hidup mereka.
***
“Rendi, jangan terlalu jauh, di sana airnya udah agak dalam. Hati-hati.” Teriak Sehan pada seorang teman di sebelah sana.
“Ok, fren. Tenang aja.” Jawab Rendi sambil terus asik berenang.
Sehan kemudian mengarahkan tatapnya pada Lani yang sedang bermain air di sampingnya.
“Lan, ternyata hidup itu lebih indah ya bila berada di antara orang-orang yang perhatian dan sayang sama kita.” Seketika sehan menutur disertai senyum di wajahnya.
“Udah pasti donk. Mana yang bagus coba, hidup senang dalam konteks kenikmatan dunia hingga akhirnya hanya menjerumuskan diri ke dalam dosa dan buat kita serasa dibayang-bayangi ketakutan. Atau menjalani hidup dengan berbagi kasih, berdamai dengan sesama dan merasakan sukacita sejahtera tanpa intimidasi dosa. Pasti yang kedua ‘kan? Sudah hidup kita jadi baik, dapat bonus tinggal di surga lagi. Keren ‘kan?” Terang Lani semangat.
“Benar banget, Lan. Tuhan memang adil, memberikan hak setiap manusia untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Tapi dengan konsekwensi yang menunggu di kemudiannya.”
***
Sore kian larut, sebagian dari mereka sudah menyudahi kegiatan berenangnya dan menibakan diri di tepi pantai. Tapi sebagian lainnya masih terbuai dengan sejuknya air laut. Suara teriak seorang wanita kemudian meriuhkan ketenangan di sana.
“Tolong…! Tolong…!”
“Kenapa tuh?” Tanya Sehan kaget.
“Itu, si Devi, mau tenggelam kayaknya. Ayo kita tolongin.” Kata seorang teman dengan telunjuk yang diarahkan ke laut.
“Tolong..! kakiku keram. Aduh..” Suara Rendi setengah meringis dari kejauhan.
“Siapa lagi tuh?”
“Sehan, tolong aku..!” Tampak kepala Lani dan tangan yang terangkat melambai-lambai dari tengah air meminta pertolongan.
“Lan, bertahan.” Teriak Sehan.
“Semua ayo, keluar dari air!” Seru seorang penjaga pantai memberi peringatan.
Situasi semakin menegang. Suara teriakan terdengar di sana-sini. Sehan dan teman-temannya yang lain langsung bergegas menolong mereka yang nyaris tenggelam, tapi akhirnya hanya Sehan seorang yang bertahan berenang bolak-balik memberi bantuan. Yang lain sudah berhenti kelelahan, ada juga yang tiba-tiba kakinya kaku karena ketakutan melihat orang-orang tenggelam dalam waktu bersamaan. Teriak histeris dan tangis kesakitan menambah ngeri situasi. Sehan masih beraksi menolong orang-orang, tak terasa ia sudah berenang cukup jauh dari bibir pantai. Hingga akhirnya sampai pula pada korban terakhir, masihpun mampu ia mengangkat tubuh lemah itu masuk ke dalam perahu walau dengan kekuatan terakhirnya. Nafasnya tersengal-sengal.
“Hei, perahu sepertinya mau tenggelam.” Kata bapak pengemudi yang ikut menolong meminjamkan perahu untuk mengangkat para korban. Sedang orang-orang di dalam perahu harus secepatnya mendapatkan pertolongan.
“Iya, benar. Airnya udah menggenang ya. Begini aja, Bapak antar mereka dulu ke darat terus balik lagi ke sini ambil saya. Saya tak mampu lagi kalau harus berenang ke sana. Bisa ‘kan, Pak?” Ucap Sehan sambil terus mengepakan kedua tangannya agar tetap mengapung. Ia sudah kelelahan setelah sekian lama mondar-mandir berenang.
“Baiklah.” Jawab si bapak.
“Cepetan ya, aku tunggu.” Seru Sehan lagi ketika perahu itu mulai bergerak.
***
Lani yang sedari tadi pingsan akhirnya bangun juga. Dipandanginya wajah ketakutan beradu dengan suara tangisan meraja di sekeliling membuat ruang kecil itu pengap dengan kesedihan. Di depannya terbaring seorang pemudi dengan tubuh pucat, tak sadarkan diri. Sesekali tempat ini berguncang dan bergoyang, taulah ia kalau sedang berada dalam sebuah mobil. Sekali lagi ia melayangkan pandangnya ke sekitar dan memang sosok yang dari tadi ia cari tak ada di sini. Akhirnya bertanya ia pada Rendi yang duduk tepat di samping.
“Sehan di mana, Ren?”
“Iya ya, Sehan di mana?” Rendi yang juga baru menyadari ketiadaan teman satu itu segera memalingkan wajah melempar tanya pada pria di sebelahnya.
Oh my God, Sehan mungkin tertinggal. Yang aku tau terakhir ia masih di laut.” Jawab Rinto yang tadi juga berada di perahu terakhir.
“Iya, Sehan masih di sana…”
“Iya benar…” Suara di sekitar ramai menyetujui.
Mobil ambulance dengan kecepatan tinggi ini sudah terlalu jauh bila harus berbalik kembali, orang yang sekarat di dalamnyapun mesti segera mendapatkan perawatan rumah sakit. Keadaan semakin membuat Lani tak kuasa memendam takut. Sesuatu dalam hatinya seperti berbisik. Lirih.
***
Setelah beberapa saat yang lalu menelpon penjaga pantai untuk mendapatkan informasi tentang Sehan yang masih tertinggal, kini Lani terdiam dengan doa yang terus-menerus terbisik di bibirnya. Tak lama handphone berbunyi, dengan cepat ia menjawab.
“Halo. Gimana? Apa kalian menemukannya?”
“Apakah teman anda memakai kaos berwarna coklat, celana jeans dan berambut ikal?” Terdengar suara pria dari seberang bertanya memastikan.
“Iya, benar. Gimana keadaannya, Pak?” Tanya Lani tak sabar. Bibirnya bergetar.
“Maaf kami tak bisa menyelamatkan teman anda. Ketika kami temukan, ia sudah mengambang di atas air. Diperkirakan telah limabelas menit dia di sana tak bernyawa.” Jelas pria di telpon itu. Sejenak Lani menahan nafas, menahan sesuatu yang dari tadi berbisik di hati. Tangis kehilangan. Namun ternyata tak jua lama ia bertahan. Matanya mulai basah, hingga wajahnya becek karena airmata. Suara desah pelannya kian menguat menjadi erangan tangis. Lani menangis. Sekeliling menangis. Tak menyangka kematian cepat datangi teman mereka yang satu itu.
Lani menangisi sahabatnya. Orang yang telah banyak menemani hari-harinya. Memang terlalu berat bagi Lani mencerna kejadian ini menjadi sebuah kenyataan di pikirannya. Tapi lambat-laun, seperti ada bisik cerah berbicara di hati, membuat rasa keberatannya berangsur rela. Bisik itu memberi pemahaman pada Lani tentang kehidupan sejati, bahwa Sehan pergi pada waktu yang tepat dan menuju tempat di mana keindahan juga kebahagiaan takkan pernah sirna.
Hari libur ini berakhir dengan perih tertanam dalam hati setiap mereka. Sebuah tamasya pantai dalam memperingati Kematian Yesus Kristus (Paskah) yang direncanakan bakal berkesan positif malah sebaliknya menjadi tragedi yang mengukir kesedihan. Kata warga, memang di pantai ini sering terjadi arus bawah laut yang kencang, tapi sebelumnya tak sampai memakan korban jiwa seperti ini. Apalagi setelah satu korban lain menyusul Sehan. Devi yang tenggelam di awal kejadian tak mampu bertahan lebih lama. Ia meninggal sebelum mobil ambulance mencapai rumah sakit.
Mereka yang pergi itu mungkin masih terlalu muda usianya, tapi keyakinan hati mereka adalah kekuatan batin yang tak bisa ditandingi kemewahan dunia dan itu menjadi tiket mereka mencapai kehidupan sebenarnya di Firdaus sana. Sehan khususnya. Pria yang baru mencicipi manisnya kasih sejati ini pasti wafat tak sia-sia. Tidak hanya mempedulikan diri sendiri, dia rela menolong teman-temannya dan akhirnya malah dirinya yang menjadi korban. Sebuah pengorbanan yang membutuhkan kemurnian hati dan ketulusan jiwa, dan Sehan sudah memiliki semua itu.
Dia pasti masuk Surga. Benak Lani berucap.