Langkahku terasa berat ketika lewati jalan di pusat kota ini. Pikiran terpecah dan hati yang lirih membawa tubuhku ke tempat tak bertuju. Airmata kutahan kuat-kuat agar tak menetes, kesedihan yang membalut ini buatku hendak berteriak kencang `tuk lepaskan belenggu duka, dan suara keramaian kota menambah rumit otakku. Tak ada yang peduli erangan lubukku yang berperih. Kini aku sendiri, cinta yang dibangga-banggakan selama ini kian sirna terkikis hujan lebat yang terus-menerus turun meng-erosi-kan perasaan di dalam hati. Cintaku.

Sendi. Nama itu telah menemani ratusan hari, banyak mengukirkan bahagia dalam lembaran cerita, dan kadang memahat luka pada halaman kisahku. Seperti derama sedih yang sementara dilakoni ini. Berawal sejak sebulan lalu. Kala itu Sendi memulai proses studinya di semester empat fakultas keperawatan di sala-satu Unifersitas di kota ini yang selama ini mencatatnya sebagai mahasiswi. Sebagai pacarnya, aku menawarkan diri mengantar, bahkan kadang-kadang menemaninya lama, hingga menantinya di lobi fakultas sampai jam kuliah selesai. Apalagi dua minggu terakhir, nyaris setiap hari kami bersama. Dan Sendi-pun senang.

Namun beberapa hari lalu mulai tak terlihat lagi cerah di wajahnya bila kutemani. Kadang aku seperti musuh, seperti orang yang mengganggu kehidupannya. Terbukti beberapa jam yang lalu. Aku datang ke kampus menyempatkan diri `tuk makan siang bersama di waktu senggangnya, juga memang kami sudah jarang lagi makan bersama sejak perubahan sikapnya itu.

“Hai, Marsel. Lagi nunggu Sendi ya?” Teman sekelas Sendi menyapaku.
“Iya. Sendi-nya mana ya? Nggak kelihatan dari tadi aku cari.” Balasku.
“Sendi lagi ke perpus, katanya mau nyari tugas buat mata kuliah nanti. Kamu tunggu aja, paling cuma sebentar kok. Eh itu dia, panjang umur. Baru dingomongin udah nongol.” Terlihat Sendi berjalan ke arah kami dengan wajah tak berseri.
“Halo, sayang.” Sambutku.
“Kamu kenapa nggak nelpon dulu kalo mau datang?” Balasnya kaku.
“Supaya surprise donk. Aku harap kamu senang aku datang. Kamu pasti belum makan ‘kan? Yuk kita makan bareng.”
“Marsel, kamu sadar nggak sih, kamu itu udah ganggu aku. Aku nggak suka. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bertemu. Aku sekarang lagi sibuk ngerjain tugas. Kamu pulang aja.”

Habis balasan kataku mendengar tutur Sendi yang menyerang rongga terdalam jantungku sampai nyaris pecahkan denyut. Dia bukan Sendi yang kukenal selama ini, Sendi yang kukenal takkan tega memuntahkan ucapan seperti itu. Aku terdiam tapi hatiku berteriak pedih. Ketersesatan meniba melanda, bak tak temukan pintu di rumah sendiri. Tak ada teman, tak ada cinta; yang ada hanya luka.

Dan kini aku terhenti di tengah kota yang penuh dengan berbagai macam aktifitas yang tak mungkin menyadari dan peduli akan  kesedihanku. Ingin rasanya kumengadu, tapi pada siapa? Hanya bisa merenung dan terus kurenungi perih ini.
***
Dua hari telah berlalu sejak kejadian itu, jam kira-kira pukul sembilan pagi ketika aku terbangun dari tidur. Kuarahkan tangan menggapai telpon seluler yang berada di sebelah kanan tak jauh dari kepala. Dan satu pesan tertera pada layar ponsel-ku, ternyata sms dari Sendi. Tak bisa kupungkiri rindu ini meronta, jiwa ini seperti sudah terbang dan berada di hadapannya. Tak kuberi kesempatan otak bekerja sesuai fungsinya, karena ini adalah urusan hati. Bisik sukmaku. Aku sesegera mungkin beranjak menemui Sendi, kulajukan motorku melintas di atas jalan raya yang terlentang panjang ke depan dengan debaran cinta dan bahagia yang mengiringi.

Braakh.. Aku terlempar setelah menabrak sebuah mobil sedan yang datang tiba-tiba dari sebelah kiri. Setelah sadar, aku telah berada di ruas jalan sekitar lima meter terhempas dari motorku. Dengan tubuh yang penuh luka aku mencoba berdiri, memaksa bangun dari kelemahan yang bisa menghalangiku bertemu kekasih tersayang. Semangat cinta ini mendorongku untuk tetap melangkahkan kaki, apalagi tak ada oplet yang bisa kutumpangi lewat. Jaraknya tak jauh lagi, dari kejauhan kulihat Sendi sedang duduk sambil menghadap ke keindahan pantai senja.

Tanpa tutur sapa langsung kutempatkan diri menantang mata itu. Diapun tak berkata apa-apa, mungkin jengkel padaku.

“Sayang, udah lama sampe ya?” Tanyaku membuka percakapan.
“Maaf, aku telat. Soalnya tadi aku terkena insident kecil.” Sambungku.
“Tapi demi kamu, aku takkan menyerah hanya karena sakit di tubuh ini. Aku kangen banget sama kamu.” Kata-kataku tadi tak digubris sedikitpun olehnya.
“Kamu masih marah ya? ‘Kan udah aku jelasin kenapa aku telat.” Inipun masih tak membuyarkan diamnya. Debaran jantung tambah cepat berdetak, Sendi hanya bisu seakan-akan tak menyadari kehadiranku.
Akhirnya kuputuskan memegang tangannya, mungkin dengan begitu dia akan menghangat padaku. Saat kuletakan tangan membanjiri jemari lembutnya, aku tersentak seketika. Ketakutan meniba landai. Debar jantung seakan berhenti ketika kudengar dia bicara sambil memegang ponsel yang baru saja ditempelkan di telingnya.

“Marsel, kamu di mana sih..? Angkat donk telponnya.” Tuturnya berharap walau nada panggil masih terdengar di speaker handphone-nya.
“Aku di sini, Sen. Aku di sini, di depan kamu.” Kataku sambil menyentuh tubuh Sendi berulang-ulang, namun semua sia-sia. Aku tak bisa meraihnya. Tangan ini menembus seperti bayang ketika menyambar tubuh Sendi.
Sesaat kemudian dia berbicara dengan seseorang melalui ponsel dari nomor yang tak di kenal. Entah dari siapa. Sendi memalingkan tubuh dan berlari secepatnya. Aku mencoba menahan, tapi percuma. Sampai teriakku-pun memanggil tetap tak didengar. Aku akhirnya mengikuti dari belakang, ternyata dia menuju ke keramaian orang yang sedang menyaksikan sesuatu.

“Marsel..!! Marsel..!!” Kudengar teriakan Sendi memanggilku dengan tangisan. Aku segera mendapatkan dia. Kulihat dia sedang berlutut terseduh dengan tubuh seorang pria terbaring di atas kedua paha dan tangannya memeluk. Kupandangi dengan seksama siapa orang yang membuat airmata Sendi sekejap membanjir dan buat sedihnya meraja itu. Perlahan aku mendekat, menatap lekat-lekat siapa sosok itu. Dan aku terperanjat..
I.. i.. itu aku! Itu aku!!

Serasa darah berhenti mengalir dan jantung seakan tak lagi berdetak. Dan memang aku kini tinggal bayang. Tak ada darah dan jantung yang mengalir deras juga berdetak kencang. Hanya ada roh di sini, menatap tubuh di pangkuan kekasih tercinta yang adalah jasatku sendiri. Aku menangis sekeras-kerasnya namun tak ada satupun yang mendengar rintihan ini. Maut telah pisahkan cinta yang terukir indah bagai tattoo, tak mungkin terhapus. Impianku hancur dalam sesaat. Kini aku hanya bayang yang tinggal dalam redup bayang-bayang..
Sendi menangis.
Tangisi aku.
Yang lagi merenung dalam isak.
Dalam bayang.