Sabtu, 30 Oktober 2010

CERITA WARNET


Suatu malam di bulan lalu. Suara-suara manusia beradu ketikan keyboard, mouse yang digesek dan sekali-sekali sentakan pintu karena keluar masuknya para member atau pengunjung yang sekedar menyinggakan diri `tuk tualangi dunia maya. Tak ketinggalan anak-anak masih berseragam pun ada, mungkin mencari referensi buat pelajaran sekolah atau sibuk urusi situs jejaring sosial yang lagi digemari sekarang-sekarang ini. Facebook.

Itulah sedikit tentang keadaan di sini, warung internet (warnet) yang setiap harinya tak kenal kata sepi dan di sinilah belakangan ini kuhabiskan waktu-waktu senggang. Dari belakang pintu, masuk seorang cowok bertubuh kurus tinggi. Remaja belasan tahun, temui teman-temannya yang lagi asik di depan komputer yang kemudian langsung meriah karena kedatangannya itu.

Tak lama berselang, dari belakang pintu juga masuk seorang gadis berperawakan manis, wajahnya oriental. Gesit dia menuju gadis-gadis berseragam sedang serius menantang monitor, dikagetkannya hingga membikin hiruk. Mata seisi ruang tertuju memandang. Tepat bersebelahan dengan remaja-remaja cowok mereka berkumpul. Suasana makin riuh. Terakhir terdengar di sela-sela kesibukanku mengetik, sepertinya prosesi perkenalan terjadi disana.

Di belakang meja kasir terlihat sang operator warnet terpaku memerhatikan kerumunan itu; aku dengan catatan yang telah selesai diketik segera bergegas, malam sudah meraja, oplet akan susah jika tambah larut.

***

Suatu malam di minggu lalu. Suara-suara manusia dan berisik aktifitas berkomputer sudah lazim beradu di sini. Kemeriahan juga masih kerap melanda, sampai-sampai aku sering menjadi saksi.

Dari belakang pintu, masuk sepasang remaja –mungkin belasan tahun. Kepala mereka lebih dulu yang bertamu, mata mereka waspada seperti kucing, mencari-cari sesuatu, dan ketika merasa semua aman baru lega sepasang itu berlabuh ke dalam ruang warnet temui teman-teman yang sudah menanti. Seperti biasa riuh hadir meniba. Para pengunjung spontan terkejut, remaja-remaja itu jadi pusat perhatian.

Lima belas menit berselang. Lima belas menit yang telah menjeratku ke dalam dunia pararel: dunia tempatku luapkan ekspresi dan kreasi, bertemu kawan-kawan sejiwa di udara. Tiba-tiba keributan terdengar dari halaman belakang. Seisi ruangan segera keluar menyaksikan ada apa gerangan, aku pun tak mau ketinggalan. It’s a hot news.

Seorang pria setengah baya sedang mengejar dan memukuli remaja belasan tahun, wajahnya tak asing bagiku. Suara pria dewasa terdengar memaki, tapi akhirnya remaja itu berhasil lolos. Sang bapak kemudian masuk ke dalam ruang warnet menarik paksa seorang gadis remaja, wajahnya juga tak asing. Gadis tersebut tak berdaya, cuma bisa menangis dan berkata,
“Papa jangan begini, malu dilihat banyak orang.” Namun si ayah tak tergubris hingga keluar mereka menghilang di balik pintu. Suasana akhirnya tenang, para pengunjung kembali menantang monitor. Tapi aku masih terpaku penasaran. Ada satu script lagi yang belum terlakon. Pasti masih. Aku tetap menunggu.

Beberapa detik pintu kembali terbuka, tapi tak lebar, hanya setengah tubuh dan tangan melambai ke arah kasir yang bisa kulihat. Aku bergumam: ini dia endingnya. Orang di balik pintu itu ternyata si pria setengah baya tadi. Sempat kudengar berkata dia dengan suara pelan pada sang operator warnet, “Terima-kasih atas bantuannya ya.”
“Sama-sama, Pak.” Jawab si operator kemudian yang sekaligus adalah akhir cerita ini.

Kisah pergaulan sepasang anak belasan tahun yang tak terestu orangtua. Backstreet. Sala-satu cerita yang melalang di bongkahan ceritaku.

Jika ini sebuah kasus dalam pengadilan, akulah saksi utamanya. Saksi yang paling dicari untuk menjelaskan awal dan akhir sebuah kisah. Jika ini sebuah film dalam bioskop, akulah penonton yang paling mengerti jalan ceritanya karena setiap adegan tak terlewatkan satupun olehku.

Hidup memang sebuah teka-teki, setiap incinya menumpang belahan-belahan lakon, dan ribuan makna terkandung dalam setiap langkah perjalanan.