Senin, 20 September 2010

KEMURNIAN HATI

Cerpen ini didedikasikan untuk teman-teman di Gereja Mawar Sharon, Langowan, Kec. Minahasa, Sulawesi Utara. Untuk mengenang tragedi tahun 2005 silam. Secara keseluruhan, cerita hanya di ‘hiperbola’kan, tapi tanpa memiliki suatu maksud tertentu. Semoga cerita ini dapat memotifasi kita untuk lebih lagi memacu semangat dalam melayani dan mencintai Tuhan..


Sebuah senyum terbias di bibirnya saat ini, menatap pantai yang sedang terpapar di pemandangan. Serasa ada kebebasan baru saat meresapi segala yang ada di sini, seperti waktu pertama ia menemukan arti kasih sebenarnya setahun yang lalu. Senyum serupa menghiasi sekeliling ketika ia mengarahkan pandang ke wajah teman-temannya yang sedari tadi bersamanya. Karena mereka ia akhirnya merasakan kasih itu. Kedamaian yang melebihi keabadian.
“Sehan, kok ngelamun aja di situ? Ayo gabung sini, kita lagi mau bikin permainan nie. Ayo.” Teriak Lani dari keramaian yang terletak tak terlalu jauh di tempat Sehan berdiri. Lani adalah sahabat Sehan sekaligus orang yang mengajaknya masuk ke perkumpulan ini. Dengan Lani banyak ia berbagi tentang semua lika-liku hidup, warna-warni perasaan, bahkan keburukan dan keindahan. Tanpa Lani, entah sudah jadi apa hidupnya kini.
Sejenak teringatlah ia akan kehidupannya dahulu. Minuman keras, obat-obatan terlarang, seks bebas dan banyak lagi kejahatan yang ia lakukan membuat hidupnya kacau dan hancur. Hingga satu titik ia merasa sendiri. Keluarga, teman-teman dan pacar tak ada satupun yang peduli saat dirinya sempat mendekam di penjara sampai menjalani karantina karena ketergantungan pada narkotika. Semua itu membuat ia merasa sebatang kara. Berkelebat juga ingatan kala pertama ia bertemu Lani di sebuah mall dan memberinya selebaran undangan acara konser musik rohani anak muda. Berkenalan hingga obrolan yang menarik membuat Sehan seperti terlanda kedamaian dari tutur Lani yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ramah juga sopan.
“Sehan, ayo.” Panggil Lani untuk kedua kalinya.
“Iya.. iya.” Tak lama dirinya sudah berada dalam kelompok muda-mudi itu tempat sahabatnya menunggu. Tawa canda lagi-lagi berkumandang, membuat sore berjalan ceria bagi mereka.
Persekutuan pemuda ini didirikan atas dasar iman kepada Tuhan Yesus Kristus, di bawah bimbingan sebuah gereja di daerah tempat Sehan tinggal. Cara hidup baik, jujur, tulus dan segala yang terbentuk dari kemurnian hati banyak diajarkan di perkumpulan ini. Sebagian besar anggotanya adalah anak-anak broken home dan orang-orang yang lama hidup dalam jeratan dosa. Di komunitas ini mereka menemukan makna hidup yang bukan sia-sia. Menjalani hidup dalam pengharapan hingga menikmati cinta sejati yang cuma bisa dirasakan lewat intensitas hubungan roh dalam penyembahan dan doa. Dengan bergulirnya waktu, jiwa mereka semakin kuat. Karakter yang baik terpancar dalam keseharian dan pengaruh positif kian merambati aspek hidup mereka.
***
“Rendi, jangan terlalu jauh, di sana airnya udah agak dalam. Hati-hati.” Teriak Sehan pada seorang teman di sebelah sana.
“Ok, fren. Tenang aja.” Jawab Rendi sambil terus asik berenang.
Sehan kemudian mengarahkan tatapnya pada Lani yang sedang bermain air di sampingnya.
“Lan, ternyata hidup itu lebih indah ya bila berada di antara orang-orang yang perhatian dan sayang sama kita.” Seketika sehan menutur disertai senyum di wajahnya.
“Udah pasti donk. Mana yang bagus coba, hidup senang dalam konteks kenikmatan dunia hingga akhirnya hanya menjerumuskan diri ke dalam dosa dan buat kita serasa dibayang-bayangi ketakutan. Atau menjalani hidup dengan berbagi kasih, berdamai dengan sesama dan merasakan sukacita sejahtera tanpa intimidasi dosa. Pasti yang kedua ‘kan? Sudah hidup kita jadi baik, dapat bonus tinggal di surga lagi. Keren ‘kan?” Terang Lani semangat.
“Benar banget, Lan. Tuhan memang adil, memberikan hak setiap manusia untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Tapi dengan konsekwensi yang menunggu di kemudiannya.”
***
Sore kian larut, sebagian dari mereka sudah menyudahi kegiatan berenangnya dan menibakan diri di tepi pantai. Tapi sebagian lainnya masih terbuai dengan sejuknya air laut. Suara teriak seorang wanita kemudian meriuhkan ketenangan di sana.
“Tolong…! Tolong…!”
“Kenapa tuh?” Tanya Sehan kaget.
“Itu, si Devi, mau tenggelam kayaknya. Ayo kita tolongin.” Kata seorang teman dengan telunjuk yang diarahkan ke laut.
“Tolong..! kakiku keram. Aduh..” Suara Rendi setengah meringis dari kejauhan.
“Siapa lagi tuh?”
“Sehan, tolong aku..!” Tampak kepala Lani dan tangan yang terangkat melambai-lambai dari tengah air meminta pertolongan.
“Lan, bertahan.” Teriak Sehan.
“Semua ayo, keluar dari air!” Seru seorang penjaga pantai memberi peringatan.
Situasi semakin menegang. Suara teriakan terdengar di sana-sini. Sehan dan teman-temannya yang lain langsung bergegas menolong mereka yang nyaris tenggelam, tapi akhirnya hanya Sehan seorang yang bertahan berenang bolak-balik memberi bantuan. Yang lain sudah berhenti kelelahan, ada juga yang tiba-tiba kakinya kaku karena ketakutan melihat orang-orang tenggelam dalam waktu bersamaan. Teriak histeris dan tangis kesakitan menambah ngeri situasi. Sehan masih beraksi menolong orang-orang, tak terasa ia sudah berenang cukup jauh dari bibir pantai. Hingga akhirnya sampai pula pada korban terakhir, masihpun mampu ia mengangkat tubuh lemah itu masuk ke dalam perahu walau dengan kekuatan terakhirnya. Nafasnya tersengal-sengal.
“Hei, perahu sepertinya mau tenggelam.” Kata bapak pengemudi yang ikut menolong meminjamkan perahu untuk mengangkat para korban. Sedang orang-orang di dalam perahu harus secepatnya mendapatkan pertolongan.
“Iya, benar. Airnya udah menggenang ya. Begini aja, Bapak antar mereka dulu ke darat terus balik lagi ke sini ambil saya. Saya tak mampu lagi kalau harus berenang ke sana. Bisa ‘kan, Pak?” Ucap Sehan sambil terus mengepakan kedua tangannya agar tetap mengapung. Ia sudah kelelahan setelah sekian lama mondar-mandir berenang.
“Baiklah.” Jawab si bapak.
“Cepetan ya, aku tunggu.” Seru Sehan lagi ketika perahu itu mulai bergerak.
***
Lani yang sedari tadi pingsan akhirnya bangun juga. Dipandanginya wajah ketakutan beradu dengan suara tangisan meraja di sekeliling membuat ruang kecil itu pengap dengan kesedihan. Di depannya terbaring seorang pemudi dengan tubuh pucat, tak sadarkan diri. Sesekali tempat ini berguncang dan bergoyang, taulah ia kalau sedang berada dalam sebuah mobil. Sekali lagi ia melayangkan pandangnya ke sekitar dan memang sosok yang dari tadi ia cari tak ada di sini. Akhirnya bertanya ia pada Rendi yang duduk tepat di samping.
“Sehan di mana, Ren?”
“Iya ya, Sehan di mana?” Rendi yang juga baru menyadari ketiadaan teman satu itu segera memalingkan wajah melempar tanya pada pria di sebelahnya.
Oh my God, Sehan mungkin tertinggal. Yang aku tau terakhir ia masih di laut.” Jawab Rinto yang tadi juga berada di perahu terakhir.
“Iya, Sehan masih di sana…”
“Iya benar…” Suara di sekitar ramai menyetujui.
Mobil ambulance dengan kecepatan tinggi ini sudah terlalu jauh bila harus berbalik kembali, orang yang sekarat di dalamnyapun mesti segera mendapatkan perawatan rumah sakit. Keadaan semakin membuat Lani tak kuasa memendam takut. Sesuatu dalam hatinya seperti berbisik. Lirih.
***
Setelah beberapa saat yang lalu menelpon penjaga pantai untuk mendapatkan informasi tentang Sehan yang masih tertinggal, kini Lani terdiam dengan doa yang terus-menerus terbisik di bibirnya. Tak lama handphone berbunyi, dengan cepat ia menjawab.
“Halo. Gimana? Apa kalian menemukannya?”
“Apakah teman anda memakai kaos berwarna coklat, celana jeans dan berambut ikal?” Terdengar suara pria dari seberang bertanya memastikan.
“Iya, benar. Gimana keadaannya, Pak?” Tanya Lani tak sabar. Bibirnya bergetar.
“Maaf kami tak bisa menyelamatkan teman anda. Ketika kami temukan, ia sudah mengambang di atas air. Diperkirakan telah limabelas menit dia di sana tak bernyawa.” Jelas pria di telpon itu. Sejenak Lani menahan nafas, menahan sesuatu yang dari tadi berbisik di hati. Tangis kehilangan. Namun ternyata tak jua lama ia bertahan. Matanya mulai basah, hingga wajahnya becek karena airmata. Suara desah pelannya kian menguat menjadi erangan tangis. Lani menangis. Sekeliling menangis. Tak menyangka kematian cepat datangi teman mereka yang satu itu.
Lani menangisi sahabatnya. Orang yang telah banyak menemani hari-harinya. Memang terlalu berat bagi Lani mencerna kejadian ini menjadi sebuah kenyataan di pikirannya. Tapi lambat-laun, seperti ada bisik cerah berbicara di hati, membuat rasa keberatannya berangsur rela. Bisik itu memberi pemahaman pada Lani tentang kehidupan sejati, bahwa Sehan pergi pada waktu yang tepat dan menuju tempat di mana keindahan juga kebahagiaan takkan pernah sirna.
Hari libur ini berakhir dengan perih tertanam dalam hati setiap mereka. Sebuah tamasya pantai dalam memperingati Kematian Yesus Kristus (Paskah) yang direncanakan bakal berkesan positif malah sebaliknya menjadi tragedi yang mengukir kesedihan. Kata warga, memang di pantai ini sering terjadi arus bawah laut yang kencang, tapi sebelumnya tak sampai memakan korban jiwa seperti ini. Apalagi setelah satu korban lain menyusul Sehan. Devi yang tenggelam di awal kejadian tak mampu bertahan lebih lama. Ia meninggal sebelum mobil ambulance mencapai rumah sakit.
Mereka yang pergi itu mungkin masih terlalu muda usianya, tapi keyakinan hati mereka adalah kekuatan batin yang tak bisa ditandingi kemewahan dunia dan itu menjadi tiket mereka mencapai kehidupan sebenarnya di Firdaus sana. Sehan khususnya. Pria yang baru mencicipi manisnya kasih sejati ini pasti wafat tak sia-sia. Tidak hanya mempedulikan diri sendiri, dia rela menolong teman-temannya dan akhirnya malah dirinya yang menjadi korban. Sebuah pengorbanan yang membutuhkan kemurnian hati dan ketulusan jiwa, dan Sehan sudah memiliki semua itu.
Dia pasti masuk Surga. Benak Lani berucap.

Kamis, 09 September 2010

PUISI CINTA

Liburan semester ganjil tiba sebentar lagi. Sore ini suasana kampus nyaris lengang, sebagian mahasiswa banyak yang tak masuk karena sudah terlebih dulu mudik ke kampung halaman berhubung sebentar lagi umat muslim akan merayakan hari raya Idul Fitri.
Aku Anton, mahasiswa semester lima Fakultas Ekonomi. Bersama teman-teman se-jurusan, aku datang ke kampus untuk melihat nilai hasil semester kami. Kulihat Sherly lagi kebingungungan seperti hendak mencari-cari sesuatu..
“Ada apa, Sher? Kamu kok kayak bingung gitu?” Tanyaku dengan menantang arahnya.
“Gini, tadi ‘kan aku ke kantin, ada adik semester ngasih aku surat, katanya dari seseorang yang nggak mau identitasnya diketahui.” Terangnya sambil menunjukan sepucuk kertas dari tangannya:
Kemarin kulihat engkau tersenyum
Sekarang kudengar engkau tertawa
Esok kuingin engkau bahagia
Selamanya yang kurindu hanyalah ceriamu
“dari pemujamu”
“Gimana menurut kamu, Ton?” Tanyanya berharap aku bisa walau sedikit saja membantunya keluar dari kebingungan ini.
“Mmm…Pasti pak Amir. Diakan pandai bikin puisi, apa lagi buat kamu.” Jawabku bercanda. Pak Amir adalah satpam kampus ini, dia dikenal sedikit genit dengan mahasiswi-mahasiswi, terlebih yang perawakannya cantik.
“Ah, Anton.. aku serius nih..! Kata Sherly cemberut.
“Mungkin Doni, soalnya dari dulukan dia naksir sama kamu, Sher.” Sambung Rani yang berdiri di sampingku.
“Tapi dia ‘kan tulalit, tulisan aja hampir-hampir nggak kebaca, apalagi hal-hal romantis kayak gini.” Jeri memberi komentar.
“Sher..! Sherly..! Ini ada sesuatu buat kamu.” Teriak Tari dari arah belakang sambil setengah berlari kian mendekat.
“Apaan, Tar?” Tanya Sherly.
“Nggak tau, buka aja. Itu cuma dititip Bu kantin buat kamu.”
Dengan penuh tanda tanya Sherly langsung mencari mereka-mereka yang berhubungan dengan semua -yang tak lazim- ini, tentunya dengan bantuan kami, sahabat-sahabatnya. Tapi sayang, tak satupun informasi kami dapatkan. Mereka juga tak tau -atau tak mau beri tau- dari mana surat-surat itu berasal. Sepertinya sang pelaku udah kelas ‘kakap’, atau mungkin hantu yang lagi jatuh cinta hingga jadi pengagum rahasia… Tebakan-tebakan dengan candaan kami berhamburan hiasi suasana yang sedang aneh hingga waktu tak memberikan kesempatan lagi untuk meneruskan pencarian, sebab tak terasa sore mulai tanggelam. Kami pun memutuskan untuk pulang, tapi dalam pikiran Sherly masih berngiang banyak pertanyaan.
***
Jam menunjukan pukul sepuluh pagi ketika aku bertemu teman-teman di kampus hari ini, karena kemarin belum juga sempat melihat hasil semester yang katanya tertunda sekarang.
“Ha..ha.. aku puas sekali dengan nilai kali ini, nggak sia-sia aku bergumul siang malam dengan buku-buku.” Tutur bahagia Sherly.
“Emang cuma kamu aja, kita-kita juga bagus hasil semesternya. Iyakan teman-teman?” Cetus Rani tak mau kalah. Tak lama kemudian Jeri tiba.
“Selamat ya, semua.” Keceriaan itu terdiam kala tutur kata Jeri meniba terdengar melas. Aku langsung mendekati dan menepuk pundaknya, karena aku sudah tau nilainya buruk.
“Udah, Jer. Kamu nggak boleh putus asa ya, semester depan kamu pasti berhasil.” Aku menyemangati.
“Emangnya nilai kamu nggak menyenangkan?” Sambung Rani.
“Kenapa sampe gitu, Jer? Semester kemarinkan kamu dapat A semua?!” Tanya Tari.
“Mungkin karena aku terlalu menghabiskan waktu dengan pekerjaan sampinganku di bengkel, sampai-sampai kuliahku anjlok.”
“Itu berarti kamu dituntut lebih agar berprestasi di semester depan. Anggap saja kegagalan kali ini adalah pintu-pintu keberhasilan nanti.” Dukung Sherly.
Doni teman kami satu semester datang memberi sesuatu pada Sherly.
“Sher, ini ada titipan buat kamu.” Kata Doni.
“Apaan nie?” Tanya Sherly sambil membuka bungkusan yang diterima di tangannya itu.
“Lihat aja sendiri.”
“Oh.. Coklat, kebiasaanmu, Don. Makasih ya. Mmm… ini kertas apaan? Jadi kamu yang selama ini ngasih aku surat tanpa nama?”
“Uuh.. geer kamu, Sher. Kalaupun aku memang suka sama kamu, aku nggak mungkin lakuin hal kayak gini. Tapi kelihatannya orang ini cinta banget deh sama kamu, aku saja nggak bisa buat puisi indah begini.” Jujur Doni pesimis.
Sampai di sinipun, misteri ini belum bisa terungkap. Puisi-puisi itu makin mengganggu hati Sherly dan menambah ribuan tanda tanya di pikiran kami. Keesokan harinya masih saja Sherly menerima surat-surat seperti itu, giliran pak Amir yang jadi pengantaranya, tapi diapun mengaku tak menulis surat-surat itu. Hari, minggu, bahkan bulan Sherly lewati dengan iringan puisi cinta dari penggemar rahasia. Tanpa disadari Sherly telah jatuh dalam cinta yang tak pasti, cinta yang dirasakan hanya dari lantunan syair cinta yang dialamatkan padanya selama ini.
***
Valentine Day tiba, hari yang konon bagi sebagian orang adalah kebahagiaan karena bisa berbagi dengan orang yang dicintai. Seperti kami: aku, Sherly, Tari, Rani, Jeri, akan merayakan tanggal empat belasan ini bersama, dan rencananya kami mau jalan-jalan ke pantai. Sherly masih di rumahnya ketika aku menelpon.
“Gimana, Sher? Udah stand by?”
“Iya sih, tapi aku ngerasa nggak baik-baik aja ni, Ton..” Jawab Sherly.
“Kenapa, kamu nggak enak badan ya?”
“Aku sedih, Ton. Kita bakal kehilangan sahabat. Tadi Jeri datang menemuiku, katanya dia mau pergi tapi nggak bilang mau kemana. Cuma senyum dan sebuah puisi yang dia tinggalkan untukku.” Sherly berkata dengan semangat yang layu sambil membacakan syair itu melalui gagang telpon padaku:
Sahabatku cintaku,
Pemujamu sahabatmu,
Mencintaimu hanyalah impian,
Memilikimu sebatas angan,
Kini semuanya berakhir,
-berakhir tanpa kisah-
“Dia baru saja pergi.” Tambahnya.
“Gini aja, abis ini kita bareng teman-teman yang lain mampir ke rumah Jeri, ok?!
Tak berapa lama, Tari dan Rani sudah bersama aku dan Sherly yang sebelumnya sudah bertemu lebih dulu. Langkah kami langsung bergegas menuju rumah Jeri dengan hati penasaran karena tak biasanya dia seperti ini. Ada yang tak dapat kami ungkapkan walau benak berbisik sesuatu. Apa itu?
Sesampainya kami di sana, tampak orang banyak berkumpul dengan warna pakaian yang kontras dengan perasaan yang harusnya muncul hari ini. Terdengar ratap tangis dari dalam rumah, aku semakin mempercepat langkahku, setengah berlari. Di ruang tamu, kedua orang tua Jeri duduk memandangi sebuah kas panjang melintang dengan ditutupi tirai putih dan menangisinya.
Itu peti! Siapa yang meninggal? Aku takut jika harus melihat sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, tapi kakiku tak bisa kuhentikan ‘tuk mengelak dari sebuah realita yang sedang menanti, wajib kuhadapi. Ketika mendekat, jantung langsung kurasakan semakin cepat memacu, bulu kudukku berdiri. Dengan perlahan kubuka tirai itu…
Jantung yang tadi berdetak melewati kecepatan normal, kini rasanya berhenti seperti menekan ‘pause’ pada remote tape ketika melihat raga yang ada dalam peti itu.
Ternyata memang Jeri yang meninggal, kesedihan langsung menggema diriku dan teman-teman, terlebih Sherly. Dalam kelopak matanya kulihat kesedihan yang sangat. Dari orang tua Jeri kami diberi tau kalau Jeri baru meninggal dua jam yang lalu. Saat meninggal, ditemukan catatan-catatan puisi berserakan di sekitar mayatnya.
“Jeri sebenarnya punya penyakit yang setiap saat bisa membunuhnya. Dan kini itu terjadi. Dia meninggal lima menit setelah pamitan pada tante, katanya mau ketemu Sherly.” Kenang ibu Jeri yang tak bisa memendung airmatanya. Kesedihan yang tak pernah diduga-duga itu seakan mengukir rasa yang berseberangan dengan makna hari ini: kasih sayang, kebersamaan, kebahagiaan, berbagi.
Misteri dan kebingungan yang merebak, akhirnya terungkap. Sherly kini tau penulis surat-surat berisi puisi cinta itu. Namun semuanya terlambat.
“Berarti yang temui aku tadi itu…? Walaupun udah meninggal dia tetap saja menemuiku. Seandainya ini tak terjadi…”
Sherly tak bisa meneruskan kata-katanya. Karena sebenarnya iapun sudah lama menyukai Jeri. Tangis menghentikan suaranya. Membungkam semua keceriaan menjadi keheningan.
***
Prosesi waktu melompat progres, namun tak pernah lagi kulihat Sherly tertawa lepas seperti saat-saat dulu. Kudapati di wajahnya hanya ada kesunyian; di matanya tinggal sebuah kata: Sepi. Diam menjadi kebiasaannya. Dua tahun terlewat sudah, aku masih melihat Sherly diam.
Dan kini untuk selama-lamanya.

Senin, 06 September 2010

KETIKA CINTA ADALAH SEBUAH PILIHAN

Rangkaian aksara bertamu pada ruang kosong hatinya malam ini. Deretan kata sederhana berusaha disatukan benaknya agar menjadi kalimat anggun penuh makna. Ungkapan hati yang ‘kan menjadi awal dari menemukan jawab atas pertanyaan batinnya selama ini. Pertanyaan yang telah membentuk asumsi-asumsi dalam pikiran, tak terhitung berapa kali logikanya telah mencari jawab sendiri dan akhirnya hanya menciptakan berbagai rasa yang sesaki diri, antara kebahagiaan dan kesedihan, dia pun tau itu bukan sebuah kepastian.
Setumpuk kalimat kini seperti terprogram di kepalanya menjadi pengingat yang jika saatnya tiba dengan otomatis tumpukan itu muncul bak huruf digital di otak, lalu dengan mudah bibir ungkapkan isi hati yang berminggu-minggu dipendamnya. Esok sorelah saat itu, saat yang sangat ia dinantikan.
Tengah malampun sampai tak terasa sejam telah terlewati, namun tak kunjung matanya mengatup. Detak jantung terlalu cepat ‘tuk bisa buatnya lelap dan kadang malah terlalu lambat. Beradulah semua ingatan dari kala pertama mereka berkenalan sampai sebulan sudah pertemanan itu berjalan –baginya lebih tepat dikatakan pendekatan.
Nasto namanya, cowok lincah, aktif, dan suka bercanda ini adalah anggota band yang  cukup popular di kampus tempatnya kuliah. Kecuali dia, semua anggota bandnya sudah berkekasih. Terlalu sulit baginya melabuhkan cinta pada gadis-gadis yang padahal setiap hari berlomba untuk mencuri perhatiannya, yang notabene adalah penggemar berat pria satu ini.
Walaupun mudah bergaul dan mempunyai banyak teman nyaris di seenteru kampus, untuk urusan pacar dia dikenal sangat korektif. Banyak wanita patah hati karena di awal mengira dekat dengannya sudah bisa menaklukan hati si pria aneh (kerap sahabat-sahabat menjuluki karena over korektifnya) ini. Namun ternyata sebaliknya, semua dari mereka tak satupun berhasil memacari cowok yang sering membuat histeris para penonton saat mengekspresikan jemari di dawai-dawai gitarnya ketika nge-band di atas panggung.
Tapi akhir-akhir ini ada debar  berbeda di rasanya, sebersik harap menggantung di asanya. Awal bulan sebtember lalu, itu mulanya. Kala semester baru dimulai. Pertemuan yang tak diduga-duga meluluhkan jiwanya. Cewek supel, ceria, mempunyai mata indah dan tinggi nyaris menyusul tinggi badan Nasto ini bernama Valia. Setidaknya itu nama yang disebut saat perkenalan dan hingga kini menghantui di setiap tidurnya. Mimpinya.
Mahasiswi baru semester pertama ini bagai bidadari yang turun dari langit bagi Nasto. Banyak waktu sudah dia habiskan untuk menemani Valia. Sedang pandangan sinis para wanita penggemar mulai bertebaran menghujam keseharian Valia, namun bukan sebuah gangguan berarti bagi cewek bersenyum manis ini. Itulah yang menjadi point plus di mata Nasto.
Kedatanganmu adalah kepergian bagi kesendirianku
Kehadiranmu adalah kehilangan bagi kesepianku
Kau menjadi surya untuk hariku dan bulan bagi malamku
Menghangatkan nurani yang lama bertemankan sepi
***
Mentari sore hampir meredupkan diri di ufuk barat, nyaris tenggelam dengan warna orange yang terlihat indah tanpa bertemankan awan-awan. Ada siluet punggung menantang sang surya dari tepi pantai. Dia Nasto. Sedang menelusuri pemandangan sunset dengan seksama. Detik demi detik diladeninya tanpa berkedip, seperti tak mau kehilangan sekecilpun waktu yang menghantar prosesi itu. Sejenak jantungnya berdebar ketika otaknya memutar kembali kejadian sejam yang lalu.
***
Sinar mentari masih sedikit menyilaukan bila ditantang mata. Beberapa bocah bermandian dan berkejar-kejaran di pantai. Di atas batu duduk berdua mereka, Nasto dan Valia, bicarakan basa-basi pembuka obrolan; tentang kampus, musik, sampai tentang laut yang ternyata adalah tempat terfavorit masing-masing. Hingga suatu detik, konsep memaksa Nasto tiba pada inti pertemuan mereka. Konsep yang yang sudah ia susun serapi mungkin semalaman. Menyatakan cinta.
“Val, sebenarnya sejak pertama kenal kamu ada perasaan berbeda yang mengukir hatiku, yang setelah kudefinisikan selama ini ternyata adalah sebongkah kata yang kusebut cinta. Jujur, terlalu sulit untukku mengatakan sebongkah kata itu pada sembarang wanita. Kau tak sembarangan. Kau berbeda, dan kau yang kupilih ‘tuk mengatakannya. Mungkinkah aku juga yang kau pilih untuk mengatakan cintamu?”
Terdiam mereka di kemudiannya, suara ombak lembut menjadi backsound moment itu. Lalu lalang kendaraan dan teriakan anak-anak seakan mengisi sepi mereka agar tak kesepian. Setelah bermenit membisu, karbondioksida terdengar menghembus dari mulut Valia, kalimat demi kalimat akhirnya terucap oleh cewek delapan belas tahun itu. Pelan dan merdu suaranya bertutur.
“Kau tau? Aku juga merasakan hal yang sama, menyukaimu saat pertama bertemu, tak menghiraukan ocehan wanita-wanita yang seharian kerjaannya cuma cari perhatian melulu sama kamu, bahkan sering rasa ingin selalu bersamamu terbersit di benakku. Tapi maaf aku tak bisa mendefinisikannya sebagai cinta,” Dia terdiam berdetik, menghela nafas sebelum kemudian melanjutkan,
“Dulu aku punya seorang pacar. Dia satu-satunya pria yang aku cintai, hingga kini. Kehadirannya membalut indah hari dan hangatkan dingin malam. Hobi bermusiknya sering hadiahkanku lagu-lagu indah ciptaannya sendiri. Diapun banyak dikagumi wanita. Tapi cuma aku yang dipilihnya ‘tuk melabuhkan cinta. Hingga suatu hari bandnya diundang manggung di luar kota. Untuk mencapai ke sana, mereka harus menyeberang melalui laut. Aku ingat saat terakhir melihatnya lambaikan tangan membalas lambaianku yang mengiringnya pergi. Senyumnya sore itu tak bisa terlupa. Sampai akhirnya saat malam teleponku berdering…” Tuturnya terhenti lagi. Isak kecil terdengar dari sana, tapi secepatnya diganti dengan senyuman paksa. Mencoba tegar ia meneruskan,
“Mereka mengabarkan bahwa kapal yang ditumpangi pacar saya tenggelam dan merenggut nyawanya. Merenggut tubuh yang biasa temaniku, merenggut jiwa yang adalah setengah jiwaku, merenggutnya tanpa sedikitpun peduli yang ‘kan terjadi padaku. Dunia seakan tak adil, cinta serasa tak pernah ada. Hanya kesedihan dan penyesalan menyesaki diri. Sedih karena tak bisa menahan dia ‘tuk jangan pergi dan menyesal sebab tak sempat turut supaya mati saja bersama di kapal malam itu. Hatiku hancur, seperti masuk ke dalam mesin penggiling, remuk sehingga serpihannya tak berbentuk sedikitpun.”
Seperti ada secercah sinar tiba-tiba mencerahkan wajahnya di kemudian. Senyum yang tadi diukir paksa kini menghambur tulus. Ada kelegaan di sana. Sambil menatap pantai dengan seutas senyum ia melanjutkan.
“Tapi waktu mengajarkanku tabah, mengajarku pasrahkan segala yang dikehendaki alam. Kini kau tau kenapa aku suka pantai ‘kan? Disini aku bisa berbicara dengan alam, nikmati bisiknya yang menenangkan. Setiap datang ke pantai aku seperti memasuki dimensi lain: ruang antaberanta yang hanya ada aku dan alam ngobrol berdua. Itulah yang sejak tiga tahun lalu aku lakukan ‘tuk relakan kepergiannya. Memasrahkan kehendak ilahi yang sudah tertulis dalam surat takdir. Dan satu hal lagi kenapa aku suka pantai. Pantai adalah tempatku berjumpa dengannya..”
Tanya Nasto serentak menyela cerita Valia. “ Siapa yang kamu temui?”
Senyumnya kini melebar, seperti menjawab pertanyaan sekonyol adakah air yang tak cair?
“Temui dia… almarhum pacar saya yang ditelan laut. Namanya.. Nasko.”
Keharuan Nasto yang sedari tadi bergulir masih berlanjut. Nama yang disebutkan tadi seakan menamparkan segelintir ingatan: wajah heran Valia saat perkenalan mereka, raut kagum Valia ketika pandanginya memainkan gitar, hingga insident salah sebut nama yang hampir selalu dilakukan Valia saat memanggilnya. Semua seperti teka-teki silang (TTS) yang seketika kotak-kotak kosongnya terisi huruf-huruf jawaban.
“So, jawaban untukku apa?”
Valia menatap mata Nasto dalam-dalam untuk sejenak dan berkata..
“ Aku tersanjung ketika kau memilihku, bahkan bahagia kala kau mencintaiku. Tapi aku, setelah semua yang terjadi padaku, jika cinta akhirnya harus bertamu ke hatiku, tak ingin hanya aku yang dipilih. Bila saat itu tiba aku ingin memilih. Dan maaf, aku tak bisa memilihmu. Karena bagiku ini belum saatnya, belum saatnya kutinggalkan masa lalu ‘tuk sekedar melangkah ke cerminnya sendiri. Sekali lagi maaf.”
Sembari menatap Nasto yang tertunduk Valia perlahan bangkit. Menepuk pundak Nasto lembut dan berlalu meninggalkan pria itu beringsut sendiri di tepi pantai.
***
Tanpa disadari langit sudah kian mendung, bola orange di sana rupanya telah ditelan laut. Anak-anak tak kelihatan lagi bermain, suara kendaraan mulai lengang, hanya ombak laut yang masih bertahan dengan lembut desaunya dan Nasto yang masih di sana dengan hati teririsnya.
Tapi semakin gelap memeluk bumi, semakin jiwanya didekap kepuasan yang baru. Kelegaan mulai melegakan pengap hatinya, dia mencoba menerima keputusan takdir. Mendengar bisik dan berbicara dengan alam. Di senja ini dia curahkan semua isi hati, merelakan yang terjadi menjadi pelajaran diri. Mungkin memang belum saatnya jodoh berpihak padanya. Dia lalu mengerti, untuk sebuah cinta bukan cuma hatinya sepihak yang harus sendiri memilih, tapi sepihak lain juga mesti memilihnya. Malam sudah menjemput kala dia tinggalkan pantai. Bulan sedang mengintip di balik ranting yang berbisik sepi.
***
Sudah seminggu sejak kejadian di pantai itu, Nasto kini lebih segar seperti biasanya. Bak sesuatu yang rumit tak pernah terjadi tujuh hari yang lalu. Langkahnya enteng jejaki gank kampus, dan lazim daya tariknya mungkin terlalu kuat hingga nyaris tak ada wanita yang tak terpanah padanya. Di ujung sana terlihat seorang gadis sedang berjalan menantang arahnya. Raut perempuan itu mirip seseorang. Tiba-tiba gadis itu berhenti di depannya dan sekalimat tanya langsung menutur.
“Hai, maaf ganggu. Mau nanya, ruang Administrasi di sebelah mana ya?”
“Anak baru ya?” Tanya Nasto sebelum menjawab pertanyaannya.
“Iya. Aku baru datang dari luar kota, mau lanjutkan kuliah disini.”
“Oh begitu ya. Mari aku antar..”
Beberapa saat kemudian wanita itu sudah berada di tempat yang ia cari dengan tuntunan Nasto.
“Tanks ya, udah dianter.”
“Sama-sama. Btw, namaku Nasto. Kamu?”
“Namaku Talia, senang mengenalmu.”
Wajah Nasto sekejap mengerut dan menggeleng, lalu seperti terburu, ia menghilang pada dinding yang menghalang. Wanita itu hanya terpaku mematung. Kebingungan dengan prosesi aneh yang bergulir di hadapannya. Sedang Nasto tetap berlalu..