Senin, 06 September 2010

KETIKA CINTA ADALAH SEBUAH PILIHAN

Rangkaian aksara bertamu pada ruang kosong hatinya malam ini. Deretan kata sederhana berusaha disatukan benaknya agar menjadi kalimat anggun penuh makna. Ungkapan hati yang ‘kan menjadi awal dari menemukan jawab atas pertanyaan batinnya selama ini. Pertanyaan yang telah membentuk asumsi-asumsi dalam pikiran, tak terhitung berapa kali logikanya telah mencari jawab sendiri dan akhirnya hanya menciptakan berbagai rasa yang sesaki diri, antara kebahagiaan dan kesedihan, dia pun tau itu bukan sebuah kepastian.
Setumpuk kalimat kini seperti terprogram di kepalanya menjadi pengingat yang jika saatnya tiba dengan otomatis tumpukan itu muncul bak huruf digital di otak, lalu dengan mudah bibir ungkapkan isi hati yang berminggu-minggu dipendamnya. Esok sorelah saat itu, saat yang sangat ia dinantikan.
Tengah malampun sampai tak terasa sejam telah terlewati, namun tak kunjung matanya mengatup. Detak jantung terlalu cepat ‘tuk bisa buatnya lelap dan kadang malah terlalu lambat. Beradulah semua ingatan dari kala pertama mereka berkenalan sampai sebulan sudah pertemanan itu berjalan –baginya lebih tepat dikatakan pendekatan.
Nasto namanya, cowok lincah, aktif, dan suka bercanda ini adalah anggota band yang  cukup popular di kampus tempatnya kuliah. Kecuali dia, semua anggota bandnya sudah berkekasih. Terlalu sulit baginya melabuhkan cinta pada gadis-gadis yang padahal setiap hari berlomba untuk mencuri perhatiannya, yang notabene adalah penggemar berat pria satu ini.
Walaupun mudah bergaul dan mempunyai banyak teman nyaris di seenteru kampus, untuk urusan pacar dia dikenal sangat korektif. Banyak wanita patah hati karena di awal mengira dekat dengannya sudah bisa menaklukan hati si pria aneh (kerap sahabat-sahabat menjuluki karena over korektifnya) ini. Namun ternyata sebaliknya, semua dari mereka tak satupun berhasil memacari cowok yang sering membuat histeris para penonton saat mengekspresikan jemari di dawai-dawai gitarnya ketika nge-band di atas panggung.
Tapi akhir-akhir ini ada debar  berbeda di rasanya, sebersik harap menggantung di asanya. Awal bulan sebtember lalu, itu mulanya. Kala semester baru dimulai. Pertemuan yang tak diduga-duga meluluhkan jiwanya. Cewek supel, ceria, mempunyai mata indah dan tinggi nyaris menyusul tinggi badan Nasto ini bernama Valia. Setidaknya itu nama yang disebut saat perkenalan dan hingga kini menghantui di setiap tidurnya. Mimpinya.
Mahasiswi baru semester pertama ini bagai bidadari yang turun dari langit bagi Nasto. Banyak waktu sudah dia habiskan untuk menemani Valia. Sedang pandangan sinis para wanita penggemar mulai bertebaran menghujam keseharian Valia, namun bukan sebuah gangguan berarti bagi cewek bersenyum manis ini. Itulah yang menjadi point plus di mata Nasto.
Kedatanganmu adalah kepergian bagi kesendirianku
Kehadiranmu adalah kehilangan bagi kesepianku
Kau menjadi surya untuk hariku dan bulan bagi malamku
Menghangatkan nurani yang lama bertemankan sepi
***
Mentari sore hampir meredupkan diri di ufuk barat, nyaris tenggelam dengan warna orange yang terlihat indah tanpa bertemankan awan-awan. Ada siluet punggung menantang sang surya dari tepi pantai. Dia Nasto. Sedang menelusuri pemandangan sunset dengan seksama. Detik demi detik diladeninya tanpa berkedip, seperti tak mau kehilangan sekecilpun waktu yang menghantar prosesi itu. Sejenak jantungnya berdebar ketika otaknya memutar kembali kejadian sejam yang lalu.
***
Sinar mentari masih sedikit menyilaukan bila ditantang mata. Beberapa bocah bermandian dan berkejar-kejaran di pantai. Di atas batu duduk berdua mereka, Nasto dan Valia, bicarakan basa-basi pembuka obrolan; tentang kampus, musik, sampai tentang laut yang ternyata adalah tempat terfavorit masing-masing. Hingga suatu detik, konsep memaksa Nasto tiba pada inti pertemuan mereka. Konsep yang yang sudah ia susun serapi mungkin semalaman. Menyatakan cinta.
“Val, sebenarnya sejak pertama kenal kamu ada perasaan berbeda yang mengukir hatiku, yang setelah kudefinisikan selama ini ternyata adalah sebongkah kata yang kusebut cinta. Jujur, terlalu sulit untukku mengatakan sebongkah kata itu pada sembarang wanita. Kau tak sembarangan. Kau berbeda, dan kau yang kupilih ‘tuk mengatakannya. Mungkinkah aku juga yang kau pilih untuk mengatakan cintamu?”
Terdiam mereka di kemudiannya, suara ombak lembut menjadi backsound moment itu. Lalu lalang kendaraan dan teriakan anak-anak seakan mengisi sepi mereka agar tak kesepian. Setelah bermenit membisu, karbondioksida terdengar menghembus dari mulut Valia, kalimat demi kalimat akhirnya terucap oleh cewek delapan belas tahun itu. Pelan dan merdu suaranya bertutur.
“Kau tau? Aku juga merasakan hal yang sama, menyukaimu saat pertama bertemu, tak menghiraukan ocehan wanita-wanita yang seharian kerjaannya cuma cari perhatian melulu sama kamu, bahkan sering rasa ingin selalu bersamamu terbersit di benakku. Tapi maaf aku tak bisa mendefinisikannya sebagai cinta,” Dia terdiam berdetik, menghela nafas sebelum kemudian melanjutkan,
“Dulu aku punya seorang pacar. Dia satu-satunya pria yang aku cintai, hingga kini. Kehadirannya membalut indah hari dan hangatkan dingin malam. Hobi bermusiknya sering hadiahkanku lagu-lagu indah ciptaannya sendiri. Diapun banyak dikagumi wanita. Tapi cuma aku yang dipilihnya ‘tuk melabuhkan cinta. Hingga suatu hari bandnya diundang manggung di luar kota. Untuk mencapai ke sana, mereka harus menyeberang melalui laut. Aku ingat saat terakhir melihatnya lambaikan tangan membalas lambaianku yang mengiringnya pergi. Senyumnya sore itu tak bisa terlupa. Sampai akhirnya saat malam teleponku berdering…” Tuturnya terhenti lagi. Isak kecil terdengar dari sana, tapi secepatnya diganti dengan senyuman paksa. Mencoba tegar ia meneruskan,
“Mereka mengabarkan bahwa kapal yang ditumpangi pacar saya tenggelam dan merenggut nyawanya. Merenggut tubuh yang biasa temaniku, merenggut jiwa yang adalah setengah jiwaku, merenggutnya tanpa sedikitpun peduli yang ‘kan terjadi padaku. Dunia seakan tak adil, cinta serasa tak pernah ada. Hanya kesedihan dan penyesalan menyesaki diri. Sedih karena tak bisa menahan dia ‘tuk jangan pergi dan menyesal sebab tak sempat turut supaya mati saja bersama di kapal malam itu. Hatiku hancur, seperti masuk ke dalam mesin penggiling, remuk sehingga serpihannya tak berbentuk sedikitpun.”
Seperti ada secercah sinar tiba-tiba mencerahkan wajahnya di kemudian. Senyum yang tadi diukir paksa kini menghambur tulus. Ada kelegaan di sana. Sambil menatap pantai dengan seutas senyum ia melanjutkan.
“Tapi waktu mengajarkanku tabah, mengajarku pasrahkan segala yang dikehendaki alam. Kini kau tau kenapa aku suka pantai ‘kan? Disini aku bisa berbicara dengan alam, nikmati bisiknya yang menenangkan. Setiap datang ke pantai aku seperti memasuki dimensi lain: ruang antaberanta yang hanya ada aku dan alam ngobrol berdua. Itulah yang sejak tiga tahun lalu aku lakukan ‘tuk relakan kepergiannya. Memasrahkan kehendak ilahi yang sudah tertulis dalam surat takdir. Dan satu hal lagi kenapa aku suka pantai. Pantai adalah tempatku berjumpa dengannya..”
Tanya Nasto serentak menyela cerita Valia. “ Siapa yang kamu temui?”
Senyumnya kini melebar, seperti menjawab pertanyaan sekonyol adakah air yang tak cair?
“Temui dia… almarhum pacar saya yang ditelan laut. Namanya.. Nasko.”
Keharuan Nasto yang sedari tadi bergulir masih berlanjut. Nama yang disebutkan tadi seakan menamparkan segelintir ingatan: wajah heran Valia saat perkenalan mereka, raut kagum Valia ketika pandanginya memainkan gitar, hingga insident salah sebut nama yang hampir selalu dilakukan Valia saat memanggilnya. Semua seperti teka-teki silang (TTS) yang seketika kotak-kotak kosongnya terisi huruf-huruf jawaban.
“So, jawaban untukku apa?”
Valia menatap mata Nasto dalam-dalam untuk sejenak dan berkata..
“ Aku tersanjung ketika kau memilihku, bahkan bahagia kala kau mencintaiku. Tapi aku, setelah semua yang terjadi padaku, jika cinta akhirnya harus bertamu ke hatiku, tak ingin hanya aku yang dipilih. Bila saat itu tiba aku ingin memilih. Dan maaf, aku tak bisa memilihmu. Karena bagiku ini belum saatnya, belum saatnya kutinggalkan masa lalu ‘tuk sekedar melangkah ke cerminnya sendiri. Sekali lagi maaf.”
Sembari menatap Nasto yang tertunduk Valia perlahan bangkit. Menepuk pundak Nasto lembut dan berlalu meninggalkan pria itu beringsut sendiri di tepi pantai.
***
Tanpa disadari langit sudah kian mendung, bola orange di sana rupanya telah ditelan laut. Anak-anak tak kelihatan lagi bermain, suara kendaraan mulai lengang, hanya ombak laut yang masih bertahan dengan lembut desaunya dan Nasto yang masih di sana dengan hati teririsnya.
Tapi semakin gelap memeluk bumi, semakin jiwanya didekap kepuasan yang baru. Kelegaan mulai melegakan pengap hatinya, dia mencoba menerima keputusan takdir. Mendengar bisik dan berbicara dengan alam. Di senja ini dia curahkan semua isi hati, merelakan yang terjadi menjadi pelajaran diri. Mungkin memang belum saatnya jodoh berpihak padanya. Dia lalu mengerti, untuk sebuah cinta bukan cuma hatinya sepihak yang harus sendiri memilih, tapi sepihak lain juga mesti memilihnya. Malam sudah menjemput kala dia tinggalkan pantai. Bulan sedang mengintip di balik ranting yang berbisik sepi.
***
Sudah seminggu sejak kejadian di pantai itu, Nasto kini lebih segar seperti biasanya. Bak sesuatu yang rumit tak pernah terjadi tujuh hari yang lalu. Langkahnya enteng jejaki gank kampus, dan lazim daya tariknya mungkin terlalu kuat hingga nyaris tak ada wanita yang tak terpanah padanya. Di ujung sana terlihat seorang gadis sedang berjalan menantang arahnya. Raut perempuan itu mirip seseorang. Tiba-tiba gadis itu berhenti di depannya dan sekalimat tanya langsung menutur.
“Hai, maaf ganggu. Mau nanya, ruang Administrasi di sebelah mana ya?”
“Anak baru ya?” Tanya Nasto sebelum menjawab pertanyaannya.
“Iya. Aku baru datang dari luar kota, mau lanjutkan kuliah disini.”
“Oh begitu ya. Mari aku antar..”
Beberapa saat kemudian wanita itu sudah berada di tempat yang ia cari dengan tuntunan Nasto.
“Tanks ya, udah dianter.”
“Sama-sama. Btw, namaku Nasto. Kamu?”
“Namaku Talia, senang mengenalmu.”
Wajah Nasto sekejap mengerut dan menggeleng, lalu seperti terburu, ia menghilang pada dinding yang menghalang. Wanita itu hanya terpaku mematung. Kebingungan dengan prosesi aneh yang bergulir di hadapannya. Sedang Nasto tetap berlalu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar